Hari Rabu adalah hari kesayangan saya. Tidak tahu persis mengapa atau bermula bagaimana. Seperti juga angka sembilan. Yang biasanya saya tunjuk ketika diberi pilihan. Mungkin karena ini juga nomor kesayangan pesepak bola Italia, Vincenzo Montella (love you!).
Dulu, di depan layar televisi, saya biasa mencari kaus bernomor punggung sembilan. Nomor sembilan biasanya merentangkan kedua tangan lebar-lebar sambil berlari untuk merayakan gawang lawan yang jebol. Seperti pesawat terbang.
Sewaktu Batistuta datang ke AS Roma dan meminta nomor punggung 9, Montella menolaknya mentah-mentah. Batistuta harus puas dengan nomor punggung 18. Sayangnya, ketika Montella kembali ke AS Roma setelah dipinjamkan ke Sampdoria, nomor 9-nya sudah keburu disandang Vučinić. Jadi Montella pun mengambil nomor punggung Vučinić: 23.
Terlepas dari itu semua, hari ini adalah hari Rabu tanggal sembilan, bulan sembilan, tahun dua ribu sembilan. Sejak bangun tidur tadi pagi, saya sudah tahu bahwa hari ini akan istimewa. Tidak perlu ‘sempurna’, tetapi pasti akan ‘istimewa’. Rasanya seperti firasat.
Kebetulan, beberapa hari lalu, saya dikontak Lisa Siregar, seorang jurnalis dari Jakarta Globe. Kami berjumpa di Twitter karena sama-sama punya ketertarikan terhadap proyek ‘A Day on the Planet‘: merekam momen pribadi orang-orang di seluruh dunia pada tanggal sembilan, bulan sembilan, tahun dua ribu sembilan, dalam satu halaman A4, untuk kemudian dibukukan.
Salah satu pertanyaan Lisa kepada saya adalah: “Are you planning to do something special on September 9?”
Saya katakan kepada Lisa, bahwa saya belum punya rencana apa-apa. Saya juga masih belum tahu apakah saya perlu melakukan sesuatu yang ‘spesial’ or to just let the moment flows naturally.
Ternyata saya memilih yang belakangan.
Saya tahu bahwa hari ini akan menjadi istimewa ketika saya menemukan sebuah novel di Amazon. Judulnya The Greatest Thing After Sliced Bread. Penulisnya Dan Robertson.
Pada salah satu halamannya, Morris Bird III yang berusia sembilan tahun bercakap-cakap dengan anak perempuan yang ditaksirnya, Suzanne Wysocki.
“I don’t think much about dying.”
— “You should,” said Suzanne.
— “Because it’s going to happen to you.”
Kalimat ini mengendap di benak saya hingga siang tadi. Saya dan kawan saya baru saja pulang dari sebuah rapat. Begitu mobil kami melewati apotik Senopati, kawan saya memekik dan berkata,”Aduh, gue nggak tega lihat orang tua itu. He looks exactly like my father when he’s dying…”
Saya yang duduk menghadap kawan saya dan membelakangi jendela, tidak sempat melihat dengan jelas. Rupanya ada seorang kakek yang terduduk di pinggiran trotoar. Dan kawan saya menggambarkannya seekstrim itu. He looks exactly like my father when he’s dying.
Mengingat salah seorang rekan kami di kantor bertempat tinggal tak jauh dari apotik Senopati, kawan saya itu pun berniat ‘menitipkan’ sesuatu untuk si kakek. Apa saja. “Seharusnya orang setua itu ada yang ngurusin,” ujar kawan saya, sedih bercampur geram.
Dying. Sudah dua kali hari ini.
Saya ingat, beberapa waktu lalu, saya dan seorang sahabat lama berbincang mengenai sepuluh hal yang ingin kami lakukan sebelum kami meninggal dunia. Kami sama-sama berhenti di nomor lima.
Tepatnya, saya sempat berhenti di nomor lima, kemudian memaksakan diri menulis sesuatu di urutan 6.
Saya tidak yakin saya sungguh-sungguh menginginkannya. Saya tuliskan sebaris kalimat hanya untuk mengisi titik-titiknya.
Hari ini, saya memandangi daftar permohonan itu kembali. Memandangi urutan 1 sampai 5. Urutan nomor 6 yang ‘terpaksa’. Dan urutan 7 sampai 10 yang tidak terisi. Saya tak bisa ungkapkan di sini apa saja permohonan saya, tetapi secara acak melibatkan kata-kata berikut: aurora, kafe di negeri yang jauh, sebuah novel, pesawat tempur, musim gugur, dan sebuah perjalanan.
Lalu saya melihat daftar permohonan sahabat saya di atasnya. Dengan nomor 6 sampai 10 yang masih berupa titik-titik. Dan saya melihatnya. Saya mengerti.
Ini seperti sebuah aha-moment, atau apalah namanya. Ternyata 10 permohonan memang terlalu banyak jika hanya ditujukan untuk diri sendiri.
Mungkin sebenarnya saya cukup meminta dua atau tiga untuk saya pribadi, lalu mengalokasikan yang empat sampai sepuluh untuk orang lain. (Tak lupa menyisakan satu dari tujuh untuk binatang-binatang. Dan satu dari enam untuk tumbuh-tumbuhan.)
Dan jika titik-titiknya tetap tidak terisi juga, biarkan saja. Sometimes, we don’t really need to fill in the dots. Mungkin memang belum waktunya. Sebagaimana cinta yang belum saatnya: terkadang hanya bisa mengisi sela-sela jari, dan bukan sela-sela hati.
Dan memang tidak ada hari yang lebih istimewa dari hari-hari ketika kita bisa mempelajari sesuatu yang baru, tentang diri sendiri.
Yuk, beri rating untuk berterima kasih pada penjawab soal!
Belanja di App banyak untungnya:
Sudut Pandang Mata Burung
Pada sudut pandang mata burung, maka kita seolah-olah berada di atas dan melihat objek berada di bawah. Jadi, letak garis horizon berada di atas bidang gambar. Sementara itu, letak titik hilang berada pada garis itu, bisa di bagian kiri, tengah atau kanan. Bahkan bisa juga diletakkan di luar bidang gambar. Setiap objek yang digambar, garisnya bersumber dari titik hilang.
Pada sudut pandang normal, diri kita seolah-olah berdiri normal memandang lurus ke depan. Dengan demikian, bagian atas dan bagian bawah terlihat seimbang. Letak garis horizon tepat di tengah-tengah bidang gambar dan titik hilang bisa diletakkan di mana saja pada garis tersebut. Semua objek yang digambar garisnya berasal dari titik hilang.
Sudut Pandang Mata Kucing
Ditlantas Polda Metro Jaya menggelar Operasi Patuh Jaya 2024 mulai Senin (15/7) ini hingga Minggu (28/7).
Ada sejumlah pelanggaran yang disasar petugas selama pelaksanaan operasi. Pelanggaran tersebut yakni melawan arus, berkendara di bawah pengaruh alkohol, menggunakan telepon seluler (ponsel) saat mengemudi, melebihi batas kecepatan, berkendara di bawah umur (tidak memiliki SIM), dan penertiban parkir liar.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kemudian, kendaraan yang tidak dilengkapi dengan perlengkapan yang standar, tidak dilengkapi dengan STNK, melanggar marka atau bahu jalan, kendaraan yang memasang rotator atau sirine tidak sesuai aturan, dan menertibkan kendaraan yang menggunakan pelat nomor palsu.
Lalu, sasaran untuk kendaraan bermotor roda dua adalah tidak menggunakan helm Standar Nasional Indonesia (SNI) serta berboncengan lebih dari satu orang.
Berikut ini rincian lokasi Operasi Patuh Jaya 2024 di Jakarta dan sekitarnya.
1. Sepanjang Jalan Gatot Subroto2. Sepanjang Jl. Sudirman - Thamrin3. Sepanjang Jl. H.R. Rasuna Said
Wilayah Jakarta Utara4. Jl. Raya Cilincing5. Jl. Martadinata6. Jl. Raya Pakin7. Jl. Yos Sudarso
Wilayah Jakarta Pusat8. Jl. Rajawali9. Jl. Sabang10. Tl Jembatan Merah - Gunung Sahari
Wilayah Jakarta Timur11. Jl. D.I Panjaitan12. Jl. Letjen Sutoyo13. Jl. Basuki Rahmat14. Kawasan Banjir Kanal Timur
Wilayah Jakarta Selatan15. Tl. Robinson - Pasar Minggu16. Jl. Fatmawati17. Jl. Ciputat Raya
Wilayah Jakarta Barat18. Jl. Letjen S Parman - Kolong Peninsula19. Sepanjang Jalan Daan Mogot20. Jl. Brigjen Katamso21. Jl. Kemanggisan Raya22. Sepanjang Jl. Daan Mogot
Wilayah Kota Depok23. Jl. Raya Margonda24. Jl. H. IR. Juanda25. Jl. Raya Bogor26. Jl. Kartini27. Jl. Boulevard GDC
Wilayah Tangerang Kota28. Jl. Jenderal Sudirman29. Jl. M.H Thamrin30. Jl. Daan Mogot
Wilayah Tangerang Selatan31. Jl. Raya Serpong32. Jl. Pahlawan Seribu33. Jl. Letnan Sutopo34. Jl. BSD Raya
Wilayah Kota Bekasi35. Jl. Ahmad Yani36. Jl. Sersan Aswan37. Jl. IR. Juanda
Wilayah Kabupaten Bekasi38. Tl. Lippo dan Pertigaan Hyundai39. Tl. SGC; Tl. Perdana40. Tl. Telaga Asih
Wilayah Bandara Soetta41. Jl. Parimeter Utara42. Jl. Parimeter Selatan43. Jl. P144. Jl. P2; Terminal 1,2, dan 345. TOD M1
Wilayah Pelabuhan46. Jl. Pelabuhan47.Jl Baru Pos48. Jl. Banda Pos